Senin, 16 Januari 2012

Beda



Karena kita tak pernah tau sama ketika ia berbeda
Jalanan kita kembali sepi
Kau dan temanmu tumbang satu satu
Jiwamu pun tumbang dalam kisah haru
Banyak kata dalam kebersamaan kita
Saat kau hadir bawa sejumput bisu
Entah aku yang bawa segores luka
Atau entah kau yang simpan kenangan lama
Sudahlah, biar kenangan ini membekas
Mungkin dalam akhir yang sepi
Kita akan tau fakta
Saat kita berjalan beriringan
Kita saling menguatkan
Meski nanti, duka telah selipkan jarak di antara kita

Untuk saat ini biar,
Biar kau rayakan beda dengan jiwamu
Dan biar kurangkai beda dalam diammu
Karena mungkin,
Kau dan aku sama
Kita beda











Senin, 09 Januari 2012

Kau yang Semu

Subuh menggeliat dari tirai lembut malam, aku masih membuka mata dan jatuh dalam pikiran semu tentangmu. Sudah lama kita tak bercengkrama dalam kata-kata yang sama. Aku masih sering memikirkanmu meski kita sudah tak sejalan lagi. 

Seperti katamu, menyeberangi awan adalah pilihanku, bukan kewajiban tentangmu. Kau semakin jauh, tak terjangkau. Semu.

Sabtu, 07 Januari 2012

Senyum Ayah

Ada satu kebahagiaan yang tak akan kau mengerti dari hidup seorang petani. Aku tak perlu bercerita lagi tentang keelokan sawah yang menguning dari padi-padi huma ini. Pelukis-pelukis renta terdahulu telah terlalu sering menuliskannya. Meski sampai saat ini, tak satupun yang pernah berhasil membawakan lukisan Tuhan itu bernafas dalam nyawa-nyawa canvas. Bagaimana mungkin kau membandingkan jari-jari yang terikat dan jari-jari yang mengikat? Mustahil.  

Subuh yang meronta-ronta terlepas dari pangkuan fajar adalah sirine dimulainya kehidupan mereka. Musim panen lalu telah berakhir, tanah-tanah basah sudah berdecak-decak meminta haknya kembali. Pakaian perang mereka menutupi seluruh tubuh. Ini Januari bung, awan masih akan mendung. Pakaian-pakaian itu, jika kau lihat lebih dekat lagi –hiraukan lumpur yang menyelimutinya- akan kau temui tulisan-tulisan terukir rapi.  SMA 1 negeri petani. Pakaian-pakaian olah raga anak-anak mereka. Atau di baju-baju yang lain akan kau temui, “Pilih no.1”, “2 pilihanku”. Mereka sudah bosan, angka berapapun tak lagi menjadi soal. Mereka cuma peduli pada satu hal, selagi masih ada pemilu masih akan ada baju-baju dinas baru.

Sorak-sorak baru, nafas-nafas rindu. Awal musim selalu menjadi tanda lahirnya jiwa-jiwa mereka. Lupakan panen musim lalu yang kelabu! Ini hari baru, saatnya menjemput rindu. Kecipak air, ayunan cangkul dan tanah menyatu. Rindu itu bertemu.

Pukul enam pagi sekarang, kau mungkin tengah sarapan ditemani secangkir roti kopi dan setumpuk koran hangat, baru dari perapian. Kau tak perlu kasihan, mereka sudah sarapan. Selepas subuh, dengan segelas kopi dan ubi rebus racikan istri sendiri. Ah, tak lupa candaan-candaan ustadz kondang yang menghibur pagi dari radio kecil warisan satu-satunya keluarga. Semakin lama, volume radio akan semakin membesar. Itu satu pertanda, ‘nak, bangun sebelum volume radio ini maksimal!’ Lalu langkah-langkah kecil merapat sambil merengek. Yang pertama keluar, duduk dipangkuan ibunya. Bersandar dan mendengkur manja. Yang kedua menggerutu, iri, marah pangkuannya diambil. Tapi hanya sesaat, sebelum tangan hitam dan kasar menggendong dan mengayunkannya hingga ke langit-langit rumah. “Tenang sayang, masih ada ayah. Masih ada ayah.” 

 Cangkul-cangkul masih akan menari kaku hingga matahari mencapai tengkuk. Sudah dhuha. Suara kecipak air sungai beradu dengan kakinya yang biru terendam lumpur. Di atas pematang sawah terbesar dengan kain sarung yang paling baik yang ia miliki, sudah datang masa mengadu. Di sana kau akan lihat, tak ada yang lebih beruntung dari mereka yang bersyukur pada nikmatNya. Lumpur-lumpur legam itu malu, pada wajah-wajah yang merunduk padaNya, jari-jari yang mengikat. 

Zhuhur sekarang. Kau tengah bingung, hendak makan apa dan dimana hari ini. Sementara mereka tengah berteduh, mengipas-ngipas badan dengan angin yang mengalir sayup-sayup. Di hadapan mereka, dua pasang tangan-tangan kecil menghidangkan nasi, sayur dan telur. Semuanya mengepul. Alhamdulillah, terima kasih Allah, hari ini dua bebek kurus itu bertelur lagi.
Dua adzan melewati, langit yang merona kemerah-merahan itu pertanda tutup buku. Cangkul-cangkul dibersihkan, sebuah kata terima kasih untuk kerja keras hari ini. Dengan gontai, mereka melangkah pulang, masih akan ada kerja keras untuk hari esok. Di ujung pematang sana, dua wajah kecil berbalut mukena berlari menyongsongnya. Sudah tak sabar diimami.  

Sebuah salam cium tangan di akhir shalat mengawali pelajaran mengaji. Dengan terbata-bata si kecil mengeja iqra’ 4 nya. Bukan karna tak pandai, minyak di lampu dinding sana sudah saatnya ditambah. Yang besar menolong si Ibu menghidangkan makanan. Asupan tenaga untuk mimpi besar hari esok. Bicara soal mimpi, si kecil tengah bermimpi di pangkuan ayahnya. Tepat selesai makan. Perlahan, takut membangunkannya, mereka menggendong bidadari-bidadari kecil mereka menuju kasur lapuk yang dimakan usia. Lengan-lengan mereka tak akan pernah lelah, untuk keluarga. 

Malam tengah menua, mereka masih terjaga. Melangkah pelan ke warung kopi sebelah. Sudah lama tak kesana, sudah saatnya bertemu kawan lama. Mereka duduk sebentar, menikmati alunan musik tua dari TV yang juga sama-sama tuanya.  Hingga seorang dari yang paling kaya berkata, “apa kabar bujangmu yang di Jawa sana? Beruntung sekali kau punya anak sehebat dia.” Dia hanya tersenyum, melipat kembali ribuan yang awalnya ingin ia belikan secangkir kopi, pelepas penat hari ini. Ia ingat, nun jauh di sana. Ada yang menanti uang makan tiap bulan. Tak apa tak ada kopi, untuk anak sehebat dia. Ia beranjak pergi, pulang lebih awal dari rencana semula. Besok harus kerja keras lagi. Ah, tak ada kerja keras yang terlalu keras, untuk anak sehebat dia. Sebuah senyum penutup hari ini.

Kau bukan seorang ayah, aku juga tidak. Tapi pegang kata-kataku, tak ada ayah yang tak merasa begitu. Tak ada ayah yang tak bangga punya anak sehebat, sepintar sepertimu. Buat apa menunggu lagi? Gerakkan jemarimu dalam rindu. Untukmu dan untukku, hari ini dan esok, masih akan ada senyum yang harus diperjuangkan. Tak ada kerja keras yang terlalu keras, untuk ayah sehebat dia.

Selasa, 03 Januari 2012

Senyum Ayah,(lagi)

Kau tak akan pernah tahu apa yang ada dibalik senyum seroang ayah.
Tak selalu ada bahagia di sana. Terkadang terselip luka nan dalam.
Mungkin saat kau menangis padanya, ia tersenyum memberikan kekuatan.
Ah, andai kau bisa lihat betapa terlukanya ia mendapati putrinya tersakiti.
Atau saat kau meminta maaf karena hasil belajar yang tidak meuaskan.
Ia akan tetap tersenyum, namun selalu ada bara tanya dalam hatinya, apa yang belum bisa kuberikan pada putriku?
Senyum ayah selalu penuh misteri.