Judul Buku : Kau, Aku, dan Sepucuk
Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
Tebal Buku : 512
halaman
Jikalah manusia mampu memahami,
bahwa tak pernah sekalipun yang namanya kebetulan menginjakkan kaki di dunia
ini maka akan semakin betebarlah rasa syukur dan penghambaan pada Dia Yang
Kuasa. Kejadian-kejadian tak terduga yang menyapa sejatinya kumpulan dari
doa-doa yang jawabannya ditunda, penghapus dosa-dosa kecil yang dikerjakan
serta bayaran atas usaha-usaha nan telah lalu. Aduhai, jikalau satu daun yang
jatuh ke bumi saja tak pernah luput dari mata awasNya, apalagi dengan hidupmu
wahai manusia, makhluk yang diciptakanNya dengan sempurna.
Kisah cinta adalah milik semua manusia, baik bagi ia
yang duduk di bangku penguasa maupun yang tengah mengorek makanan sisa dari
tempat-tempat sampah di samping kedai makanan. Cinta tak pernah memandang pada
siapa ia mengikatkan nafasnya. Manusia dan cintanya, adalah aneka rupa warna-warni
yang beriak membentuk bumi. Seperti riak Sungai Kapuas, kadang surut kadang
memuai.
Banyak yang jatuh cinta, banyak pula yang patah
hatinya lalu terluka serta mulai membenci cinta. Namun lebih banyak yang tak
sadar untuk apa mereka mencinta. Borno, yang belum pernah berkenalan dengan
cinta paham bahwa tanpa cintanya dunia tak akan berubah. Hanya saja dalam
pandangan matanya, Sungai Kapuas tak akan pernah sama lagi. Sama sekali tak
akan pernah sama.
Bujang Melayu yang lurus hatinya. Hidup sederhana
dalam lingkungan ramah Melayu Pontianak.
Suatu masa, tibalah masanya ia berkenalan dengan cinta. Ah, cinta
pertama. Mendengarnya saja sudah menguak kenangan-kenangan indah lama itu.
Sedang jatuh cinta bujang kita ini. Benar-benar kuasa cinta itu, mengemudi
sepit yang dahulunya membosankan kini menjelma menjadi waktu-waktu tak
tertahankan. Meski hanya satu dua tiga kecipak air, cukup baginya biar bertemu
yang dicinta.
Bukan cinta namanya jika tak pernah membawa perasaan
pada gelombang tak bertuan. Begitu pula cinta pertama Borno, cinta itu membawa
luka bersama datangnya. Bujang itu, lambat laun tenggelam dalam dukanya. Namun
tersebutlah Andi, seorang kawan yang mengingatkan kita bahwa tak hanya cinta
buta nan merana yang ada di kehidupan manusia. Ada cinta dari setiap ia yang
melangkahkan kaki ke dalam kehidupanmu. Bukan dengan bahu siap ditumpangi
tangisan ia datang, namun dengan penyadaran bahwa selalu masih ada hal yang
harus diperjuangkan bagi orang-orang yang kita kenal.
Tak jauh beda dengan Andi yang menyayangi Borno
dengan caranya. Bang Togar, yang dikenal dengan ketegasannya pun pada akhirnya
memperlihatkan kepada kita bahwa semua orang memiliki caranya masing-masing
untuk mencintai. Hanya saja terkadang cara itu terlalu rumit untuk kita pahami,
kecuali dengan sabar menunggu cinta itu berbunga di waktu yang tepat. Sabar,
adalah bentuk cinta yang tak ada batasnya. Ia berarti kepercayaan tak terperi
bagi para pecinta.
Jika Andi hadir dari kalangan muda, sementara Bang
Togar mewakili usia pertengahan baya. Maka lengkaplah dengan hadirnya Pak Tua
sang cendekiawan cinta Kapuas. Agak ironi sebenarnya, karena yang hadir sebagai
cendekiawan cinta kita adalah ia yang tak menikah selama hidupnya. Tapi tentu
saja, seorang lelaki sebijaksana Pak Tua, punya cara tersendiri untuk
mencintai. Entah itu kita ketahui, entah tidak.
Bicara soal kebetulan dan cinta Borno, bukan
kebetulan saat ayah Borno memutuskan menyumbangkan nyawa terakhirnya kala itu.
Itu adalah wujud cinta. Bukan kebetulan saat Borno memburu nomor undian 13 dalam
atrian sepit. Itu adalah usaha cinta. Bukan kebetulan saat ia bertemu pujaan
hatinya di tanah Jawa. Itu adalah jawaban akan usaha kerasnya mencari-cari
cinta. Bukan kebetulan saat angpau merah penyelesai cerita kita ini jatuh di
sepit Borno. Angpau yang jatuh itu juga salah satu wujud cinta, kawan.
Cita rasa kehidupan di sepanjang Sungai Kapuas yang
kental. Itulah hal yang pertama kali menyelimuti rongga dada saya. Dari Depok
sini, saya mampu melihat gang-gang sempit tempat Borno mengemudikan sepitnya di
pagi buta. Gurauan-gurauan pengemudi sepit yang buncah di kedai-kedai kopi.
Benar-benar, sungguh sangat Melayu. Kepiawaian Tere Liye membangun suasana
Melayu inilah yang menjadikan kisah cinta bujang kita terasa sangat dekat,
tidak mengawang-awang. Kedalaman riset dan kemampuan membaca alam dan budaya
yang menawan. Dan tentu saja, pengungkapannya dalam bahasa lokal yang
menjadikannya sangat Pontianak.
Alur cinta yang dinamis dan mengejutkan. Selalu saja
ada cara Yang Kuasa untuk mempertemukan cinta bujang Melayu ini. Sungguh kisah sederhana nan
manis. Namun, meski demikian hebatnya, saya merasa tertipu saat membaca buku
ini. Saya, sejujurnya, hanya mempersiapkan diri untuk membaca sebuah kisah
menakjubkan, bukan bertubi-tubi kisah cinta yang selama ini terhapus oleh
paradigma saya mengenai cinta sejati. Akui saja, kau pun hanya akan mengingat
sebuah hubungan asmara antara perempuan dan lelaki saat mendengar kata cinta. Padahal ada tak terbatas rasa cinta yang
tumbuh tanpa kita sadari. Ya, kita tertipu paradigma sendiri selama ini.
Ada cinta yang diajarkan oleh ayah Borno, bahwa
keikhlasannya berbuah menjadi hadiah indah baginya dan keluarganya. Ikhlasnya,
adalah bukti kecintaan yang luar biasa dalam. Cinta yang tak pernah hilang,
ialah kisah cinta sahabat Pak Tua. Fulan, mencintai baginya adalah kata kerja
yang tak pernah ada pensiunnya. Bang Togar dan cinta yang nekat. Andi dan cinta
yang menyadarkan serta beragam ungkapan cinta yang tak terungkapkan. Meski
tertipu, saya suguhkan secangkir terima kasih karena telah menyadarkan saya dari paradigma yang selama ini saya tuturkan sendiri.
Kisah cinta yang meliuk, berliku dan beriak. Persis.
Persis seperti sepit Borneo yang membelah sungai Kapuas. Namun, bukan karena
itu ia menjadi istimewa. Bukan karena
akhirnya bahagia ia lantas dipuja. Bukan juga karena hadirnya Pak Tua,
lakon kita yang sangat bijak tutur katanya. Namun, karena mereka menyadarkan
kita bahwa tak pernah ada kata sia-sia bagi apapun yang tengah kita
perjuangkan. Memberi pemahaman bahwa kebetulan, hanya ada bagi mereka yang tak
berjuang cita-citanya. Dan karena kisah ini dituturkanlah, ia menjadi istimewa.
Untuk mereka yang mengaku tak pernah dicintai, lalu
bagi mereka yang berkoar-koar pada dunia bahwa cintanya sejati dan mereka yang
sampai sekarang masih terbelenggu dengan rumitnya kisah cinta yang tengah ia
hadapi. Bagi mereka semualah, buku ini saya rekomendasikan. Agar mereka paham
bahwa cinta tak hanya ungkapan-ungkapan manis, setangkai bunga dan sekotak
coklat. Agar mereka paham bahwa ada banyak kebaikan bagi ia yang ikhlas, sabar
dan tetap berusaha. Agar mereka yakin bahwa tak sia-sia dan kebetulan tak
pernah ada bagi manusia yang berusaha. Semua kebaikan yang mereka terima adalah
kumpulan kerja keras dan doa-doa yang ditunda.