Selasa, 28 Juni 2011

Ibundaku,


Ibundaku, rindu ini membatik cinta untukmu di hatiku
Kau tau? kalaulah cinta itu berwujud, ia akan sepertimu Bu. Kalau ia bersuara, ia menjadi suaramu.
Tatapannya adalah tatapan yang selama ini kulihat, tatapanmu. Kau dengarkah hati yang menjerit ini Bu?

Senja dikala dahulu,
Lubuk sikaping menuju Depok, kau bilang padaku berbahaya.
Kuyakinkan dirimu, ini hanyalah masalah keraguan dan keyakinan.
Akan hal yang kau yakini dan kuragukan.
Seingatku, kau tatap mataku dengan air mata yang menggantung.
Bukan, itu bukan keegoisan. Itu cinta, cinta yang resah.

Kujumpai banyak bangunan, namun tak akan ada rumah tanpa dirimu. 
Kutemui banyak keluarga Bu dan begitu banyak saudara.
Tapi aku selalu tahu, bahwa aku hanya punya satu Ibu.
Hanya dirimu.

Remuk redam hati ini Bu, saat ini tak kujumpai kau disisiku.
Kalaulah cinta ini mampu berkisah, hendak kuungkap padamu.
Betapa dalam trima kasih padamu,
Trima kasih Bu, atas perjuanganmu saat membawaku ke dunia.
Trima kasih atas kepercayaanmu saat melawan maut itu.

Jika cinta itu berwujud Bu,
ia akan seperti dirimu, persis.
Mungkin di antara kita tak ada kata-kata,
Tapi bukankah jiwamu dalam separuh jiwaku?
Buat apa kata Bu, jika hanya dalam diam cintamu begitu dalam.

Jumat, 24 Juni 2011

Kita yang Merindu


Hei, kawan!
Apa kau ingat? Satu setengah tahun yang lalu kita bercengkrama dalam balutan angin senja.
"Chin, manusia itu lucu ya?" ungkapmu pada aku yang tengah memandang hasil PPKB UI.
"Kenapa?" seperti katamu, mungkin kita belum sehati sehingga kita butuh kata untuk saling memahami.
"Kalau mereka tahu akan merindu, untuk apa mereka berpisah."
Kau ingat? Aku hanya tersenyum tanpa menjawab.

Biar kujawab tanyamu hari ini, sayang.
Biar kususun rindu ini menjadi untaian-untaian kata-kata merdu.
Mungkin suatu saat, dari balik sana kukirimkan kata-kata rindu langsung kepadamu.
Tapi harus kau tahu, jika kuungkap rindu untuk pertama kali itu artinya rinduku masih baru.
Masih rindu yang berlendir.
Karena saat rindu ini sudah memenuhi rongga-ronggaku, kan kubiarkan hatiku yang bicara pada hatimu bukan lisanku.

Aku Padamu adalah Merah pada Bintang Saat Ia Terbelah


Aihh, entah kenapa lagi-lagi aku ingin bercerita tentangmu Bang.
Belakangan aku menyadari, betapa sungguh aku menyia-nyiakan kesempatan yang kudapat dan tak kau peroleh.
Lagi-lagi aku teringat pada pahatan-pahatan mimpimu yang kau ukir di antara lambaian padi yang menguning.
Bukan Harvard ucapmu apalagi Oxford, saat kusebut nama besar mereka.
"Aku cuma butuh ilmu," kau tersenyum pada ilalang yang seirama dengan belalang.


Lalu di kemudian hari aku tertegun mendengar kisahmu dari negeri di seberang gunung sana.
Di pagi saat pendaftaran pencarian ilmu itu bermula, kau simpuhkan kakimu dan bersujud pada perempuan yang paling kau hormati.
"Bu, benarkah tak ada kesempatan untukku melanjutkan sekolah? Kuliah?" lirihmu di pagi dan petang.
"Maaf nak, Ibu dan Bapak tak punya uang,"jawab beliau.
Dan kita sama-sama tau bahwa di kota kita ilmu hanya diperuntukkan bagi orang-orang berdompet.
Ah, andai kau lahir di keluarga yang lain Bang.
Bukan, andai kau lahir dalam keadaan keluarga yang lain.

September 2009
Kutanyai jiwamu dan ternyata ia masih mendongak pada kobaran pencarian panjang.
Pencarian pada ilmu-ilmu yang Ia sebarkan di hamparan permadani biru ini.
"Dua tahun lagi Dek, kulanjutkan mimpiku yang sempat terbengkalai. Insya Allah."
Insya Allah bang, Man Shabara Zhafira

Aku Padamu adalah Merah pada Langit Senja


Kawan, hari ini nak kuceritakan sebuah kisah. Tentang seorang laki-laki yang kupanggil Abang.
Orang yang di depannya kurasa aku tak mampu membanggakan apapun. Karena aku padanya adalah daun pada kamboja di kala senja. 

Jika bicara ketaatan, entahlah. Tak pernah kutemukan ia selain di sekolah, rumahku, rumahnya dan masjid.
Jika bicara kecerdasan, aku lupa berapa kali kusodorkan buku matematika itu ke meja belajarnya. Lalu termanggut-manggut pada kalam-kalam logis dan matematis yang ia gunakan.
Sekali lagi bicara kecerdasan, selalu, rajaku mangkat tak bersuara pada langkahnya yang ketiga.

Walaupun aku perempuan dan ia laki-laki, aku selalu terperangah mendengar kelembutan tutur katanya. 
Lihat betapa ia menunduk merdu di hadapan Ibu Bapaknya.
Atau tatapan hangat pada adik-adik belia di ujung sekolah sana.

Kadang di sore yang beraroma hangat, aku dan udaku bersepeda ke rumah nenek melewati rumahnya.
hmm, lagi-lagi kutemui ia tengah menyapa gemerisik dedaunan yang terbengkalai di depan rumah.
Terkadang bercengkrama dengan bunga-bunga yang selalu bermanja-manja padanya.

Aku padanya adalah merah pada senja.
Dihadapannya aku malu melihat bagaimana caraku memperlakukan hidup.

Kemarin ia ungkap kepadaku, betapa tak enaknya menjadi pegawai kecil di ujung bumi sana.
Dan aku hanya diam menyaksikan mimpi-mimpi hebatnya yang padam pada lembaran-lembaran rupiah.
Dalam hati aku ingin berbisik, andai kau bisa memilih di rumah mana engkau dilahirkan Bang.
Aku yakin, saat ini kau akan berdiri di garda terdepan  sebagai sang pemimpin perubahan.
Tak hanya tenggelam dalam gulungan-gulungan kabel dan paku di dalam bumi sana.

Dan lagi-lagi, aku padamu adalah merah pada langit senja yang terbakar.
Kau katakan padaku, "Dek, hati-hati di perantauan. Jaga semangatmu untuk mencapai semua impian yang kau ceritakan dahulu. Terlepas dari itu semua, dalam do'a-do'a diri yang lemah ini, selalu kupinta agar kau selalu dalam jalanNya. 
Demi Dzat yang nafasku ada dalam genggamanNya, tak satupun dari mimpimu yang akan tercapai Dek, jika kau hidup dalam linangan dosa atas pengingkaranmu terhadapNya."

Mungkin sekarang dalam pandangan makhluk kau hanyalah pegawai kecil yang makannya tertera dalam lembaran surat yang mereka tanda tangani setiap bulan, dan aku adalah mahasiswi dari sebuah kampus yang katanya motor dari pergerakan.
Namun, aku selalu iri pada bagaimana Tuhan memandangmu yang begitu kuat.

Ujian Bang, hanya diberikan pada orang-orang yang kuat.
Dan aku padamu adalah merah pada langit senja yang terbakar menyala-nyala.

Selasa, 21 Juni 2011

My Sister and Me


Aku ingin ceritakan salah seorang terpenting dalam hidupku.
Kemarin, 17 tahun yang lalu dia lahir dari rahim yang sama denganku.
Benar-benar sama, sehingga terkadang aku berfikir apakah mungkin jika ternyata gilirannya pertama kali lahir namun kuserobot. Karena ia hadir dalam fisik dan karakter yang lebih dewasa dari padaku.


Sebuah hal lucu yang baru kusadari kemaren malam, saat menerobos lampu jalanan dari rumah sakit Bunda ke kosan tercinta ini.
Kenangan tentang hal-hal yang indah dahulu.
Kalau rambutnya pendek, rambutku panjang.
Pakaianku rok, ia memilih jeans laki-laki.
Aku merengek-rengek meminta high heels yang jika dipakai akan menghasilkan lampu warna-warni sementara ia berlarian bertelanjang kaki menggiring bola di lapangan.

Ketika kami mulai remaja, mainanku barbie sementara ia asik dengan kelereng dan pistol mainannya.
Aku berteriak karena luka dari pisau dapur, ia menangis mengadu karena jatuh balapan sepeda.
Atau mungkin terluka saat bermain di genangan lumpur.

ah, tapi entah mengapa sekarang ia punya pacar dan aku tidak.
Sampai-sampai ayahku berseloroh, chin, hati-hati lo kamu jangan sampai calon suamimu digaet adikmu sendiri.
Ayah, kenapa kau begitu?
I trust her, kau tak akan seperti itu kan dek? plis? #hahaha