Tantangannya adalah seberani apa kita meraba apa yang ada di balik
kematian. Kisah kematian, sepanjang jalan hidupnya manusia layaknya sudah
seperti matahari yang terbit di kala pagi dan terbenam saat senja. Suatu
kepastian yang tak perlu dikritisi lagi. Semua yang bernyawa pasti mati.
Tapi mengertikah kau kawan, manusia adalah makhluk lemah. Kita lebih
acap menginginkan akhir yang bahagia
daripada belajar dari kisah yang Allah torehkan di atas bumi. Dan malangnya,
kematian dari zaman batu dahulu telah dianggap sebagai gerbang pemisah abadi.
Jarang, sungguh jarang sekali yang mempertanyakan apa yang ada di balik
kematian. Hanya sedikit yang mampu mengambil hikmah dari kiamat sugra ini.
kebanyakan malah memilih berdiam lama meratapi perpisahan.
Kasim Wolf namanya, seorang bocah tujuh tahun yang terpaksa menyaksikan
nenek yang sangat ia cintai meregang nyawa tepat di depan mata. Beruntung, saat
itu Allah bermurah hati mengirimkan sedikit cahaya ke hatinya. Bukan tangisan
yang tumpah saat itu, bukan pula teriakan meminta keadilan dari langit. Kasim
kecil -tanpa orang tua, tanpa pengetahuan- saat itu bertanya pada dirinya
sendiri, apa yang terjadi setelah kematian? Sebuah pertanyaan mendalam yang
nantinya menggiring langkahnya menuju jalan Allah.
Eropa 1981, Kasim sudah beranjak remaja. 18 tahun usianya saat Allah
memperkenalkannya pada islam untuk pertama kalinya. Sungguh indah perkenalan
itu. Dari sekian banyak kota-kota di Eropa yang ia jelajahi saat itu, di kota
Tangierlah ia mendengar suara adzan. Seruan terindah untuk pertama kalinya
seumur hidup. Mungkin kau tak tahu apa yang ada di kota kecil kita ini. Di
sinilah saudaraku, penjelajah legendaris Muslim Ibnu Batuta dilahirkan,
mengenal islam dan merancang perjalanannya. Kasim, penjelajah kecil kita
bertemu islam di ranah penjelajah Muslim termahsyur. Indah bukan? Bukan
kebetulan yang bicara di sini kawan, semuanya telah Ia atur. Tersusun rapi
dalam peta hidup Kasim kecil kita.
Setahun kemudian, penjelajah baru kita merapatkan kapalnya di Schweinfurt,
dimana dari abad ke-18 alqur’an sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Di
sinilah ia mulai menghabiskan waktunya untuk menggali islam. Memahami
pesan-pesan Allah melalui alqur’an. Hingga di suatu masa, pertanyaan yang sudah
terpendam selama puluhan tahun itu terjawab tuntas. Tuntas sudah, hingga tak
ada lagi pertanyaan lain yang mampu mengikutinya. Untuk apa manusia hidup, apa
yang harus dilakukan selama hidup, apa yang ada di balik kematian dan persiapan
apa yang harus dilakukan.
Indonesia 1996, Muhammad Kasim wolf menginjakkan kaki
di nusantara. Dua puluh enam tahun berlalu sejak hidayah itu pertama kali
menyapa, Kasim telah tumbuh dewasa. Tiga puluh tahun usianya sekarang dan
akhirnya ia memilih islam untuk membimbingnya dalam penjelajahannya yang masih
panjang.