Rabu, 18 April 2012

Kau Lelah, Kawan


Kau lelah kawan, aku tau.
Ada saat-saat dimana aku mampu membaca hatimu. Mungkin terdengar aneh bagimu, pun bagiku.
Kau ingat pertama kali kita bersitatap di ruangan putih itu?
Saat itu angin bulan Juni mulai berputar-putar di atas Danau Maninjau. Kau selalu tak suka kala hujan mulai menyapa. Kita selalu berseberangan soal ini. Bagiku, ketukan-ketukan nadi bumi itu sungguh mempesona, dan kau pun heran melihatku yang mampu memandang mereka menari turun seharian. Sejak saat itu aku sudah tau, aku terlahir untuk mengenalmu.

Aku juga lelah, tapi kau tak akan tau.
Bukan kau yang tak mampu membaca hatiku, tapi aku yang tak mau kau membacanya. Ada kalanya aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sudah cukup bahagia dengan mengenalmu. Aku tak butuh yang lain.

Senin, 09 April 2012

Kasim Wolf


Tantangannya adalah seberani apa kita meraba apa yang ada di balik kematian. Kisah kematian, sepanjang jalan hidupnya manusia layaknya sudah seperti matahari yang terbit di kala pagi dan terbenam saat senja. Suatu kepastian yang tak perlu dikritisi lagi. Semua yang bernyawa pasti mati.

Tapi mengertikah kau kawan, manusia adalah makhluk lemah. Kita lebih acap  menginginkan akhir yang bahagia daripada belajar dari kisah yang Allah torehkan di atas bumi. Dan malangnya, kematian dari zaman batu dahulu telah dianggap sebagai gerbang pemisah abadi. Jarang, sungguh jarang sekali yang mempertanyakan apa yang ada di balik kematian. Hanya sedikit yang mampu mengambil hikmah dari kiamat sugra ini. kebanyakan malah memilih berdiam lama meratapi perpisahan.

Kasim Wolf namanya, seorang bocah tujuh tahun yang terpaksa menyaksikan nenek yang sangat ia cintai meregang nyawa tepat di depan mata. Beruntung, saat itu Allah bermurah hati mengirimkan sedikit cahaya ke hatinya. Bukan tangisan yang tumpah saat itu, bukan pula teriakan meminta keadilan dari langit. Kasim kecil -tanpa orang tua, tanpa pengetahuan- saat itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang terjadi setelah kematian? Sebuah pertanyaan mendalam yang nantinya menggiring langkahnya menuju jalan Allah.

Eropa 1981, Kasim sudah beranjak remaja. 18 tahun usianya saat Allah memperkenalkannya pada islam untuk pertama kalinya. Sungguh indah perkenalan itu. Dari sekian banyak kota-kota di Eropa yang ia jelajahi saat itu, di kota Tangierlah ia mendengar suara adzan. Seruan terindah untuk pertama kalinya seumur hidup. Mungkin kau tak tahu apa yang ada di kota kecil kita ini. Di sinilah saudaraku, penjelajah legendaris Muslim Ibnu Batuta dilahirkan, mengenal islam dan merancang perjalanannya. Kasim, penjelajah kecil kita bertemu islam di ranah penjelajah Muslim termahsyur. Indah bukan? Bukan kebetulan yang bicara di sini kawan, semuanya telah Ia atur. Tersusun rapi dalam peta hidup Kasim kecil kita.

Setahun kemudian, penjelajah baru kita merapatkan kapalnya di Schweinfurt, dimana dari abad ke-18 alqur’an sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Di sinilah ia mulai menghabiskan waktunya untuk menggali islam. Memahami pesan-pesan Allah melalui alqur’an. Hingga di suatu masa, pertanyaan yang sudah terpendam selama puluhan tahun itu terjawab tuntas. Tuntas sudah, hingga tak ada lagi pertanyaan lain yang mampu mengikutinya. Untuk apa manusia hidup, apa yang harus dilakukan selama hidup, apa yang ada di balik kematian dan persiapan apa yang harus dilakukan.

Indonesia 1996, Muhammad Kasim wolf menginjakkan kaki di nusantara. Dua puluh enam tahun berlalu sejak hidayah itu pertama kali menyapa, Kasim telah tumbuh dewasa. Tiga puluh tahun usianya sekarang dan akhirnya ia memilih islam untuk membimbingnya dalam penjelajahannya yang masih panjang.

Sabtu, 07 April 2012

Jalan Kita

Hari ini aku mencoba memejamkan mata, mnghapus bayangmu dari pandangan.
Lantas Tuhan beri aku cerita dari suaramu.
Aku tak mengerti, jika jalanmu memang tak berakhir dengan jalanku, buat apa Tuhan arahkan jalan kita berdampingan?