Dalam dunia tanpamu, maka hujan hanyalah tetes-tetes air yang terpaksa menjalani hukumannya. Mengulangi siklus yang sama sepanjang usia. Hari ini ia berakhir di selokan kotor di samping sekolah tua. Besok bisa saja berakhir di genggaman tangan para pewudhu dan pendusta. Jangan tanya lusa dan minggu depan akan berada dimana. Juga selalu saja ada kemungkinan kembali ke samudra, menjadi air mandi perenang-perenang handal di dalamnya, tempat semua kegilaannya ini bermula.
Dalam dunia tanpamu, lagu-lagu tak lebih dari kata-kata yang diucapkan dengan beda. Ditambah pukulan-pukulan yang sengaja dibuat berirama, padahal hanya karena penabuhnya kehilangan tenaga jika harus memukul tanpa jeda. Serta nafas-nafas busuk yang dihembuskan melalui lubang sempit oleh para pendosa, yang tak tahu harus berbuat apa dengan hidupnya.
Dalam dunia tanpamu, cerita-cerita tentang cinta dan kisah-kisah lama hanyalah kumpulan manusia gila yang menggantungkan hidup pada rasa yang tak satupun manusia tau rupanya. Mereka tertawa, kesal dan menangis tanpa henti serta tanpa tau sebab pastinya.
Dalam dunia tanpamu, langit hanyalah akibat dari penciptaan Penguasa Semesta. Hadir untuk menjalankan tugasnya, pelengkap derita. Dan corak-corak putih awan yang selalu menutupinya hadir biar hujan jelas darimana asalnya. Biar manusia tak berpikir bahwa di atas sana sesosok dewa hujan berarian di sepanjang langit membawa gentong air dan membuang-buang air miliknya karena bosan menonton manusia dari nirwana.
Dalam dunia tanpamu, lukisan-lukisan yang katanya aduhai indahnya hanyalah alasan bagi manusia-manusia yang malas belajar eksakta. Lalu menghabiskan hidupnya untuk membual soal kehidupan manusia dan dunia. Seolah paling mengerti dengan permasalahan manusia yang bahkan belum pernah ia jumpa.
Dalam dunia tanpamu, malam hanyalah pertanda bahwa jutaan sel yang ada disini butuh waktu istirahatnya. Dan pagi tak pernah membawa pengharapan bagi jiwa, ia datang karena begitulah Tuhan mengutusnya hingga hari akhir tiba. Hanya karena dia tak punya kuasa untuk menolak, ia jalani tugasnya tanpa tanya.
Dalam dunia tanpamu, bernafas hanyalah sebuah proses yang tak bisa kutolak dengan cara biasa. Terlalu sakit jika harus berhenti bernafas dan menghabiskan waktu untuk membayangkan akan dunia yang jiwamu hadir bersamanya. Ya, dalam dunia tanpamu bahkan atas hidupku sendiri aku tak punya kuasa. Apalagi jika harus mengubah dunia. Ia tak lebih dari para pendosa yang bermimpi kelak akan menyeruput segelas susu di surga.
Dalam dunia tanpamu, aku mati rasa. Rasa hanya bagi mereka yang lemah dan tak punya logika. Maka satu nyawa yang hilang sia-sia senja ini tak pernah jadi salah siapa-siapa. Kematiannya hanya tanda bahwa jiwanya tak cukup tenaga untuk menikmati yang Tuhan ciptakan di semesta.
Dalam dunia tanpamu, jiwaku gagal memahami rasa. Ia juga tak bisa berkenalan dan berteman dengan jiwa. Maka kehidupan hanyalah permainan soal siapa yang lebih kuasa. Kematian satu jiwa, dua jiwa, atau ribuan jiwa tak ada bedanya. Kematian olehnya, oleh dia atau olehku juga sama saja.
Dalam dunia tanpamu, aku pendosa.
Dalam dunia tanpamu, lagu-lagu tak lebih dari kata-kata yang diucapkan dengan beda. Ditambah pukulan-pukulan yang sengaja dibuat berirama, padahal hanya karena penabuhnya kehilangan tenaga jika harus memukul tanpa jeda. Serta nafas-nafas busuk yang dihembuskan melalui lubang sempit oleh para pendosa, yang tak tahu harus berbuat apa dengan hidupnya.
Dalam dunia tanpamu, cerita-cerita tentang cinta dan kisah-kisah lama hanyalah kumpulan manusia gila yang menggantungkan hidup pada rasa yang tak satupun manusia tau rupanya. Mereka tertawa, kesal dan menangis tanpa henti serta tanpa tau sebab pastinya.
Dalam dunia tanpamu, langit hanyalah akibat dari penciptaan Penguasa Semesta. Hadir untuk menjalankan tugasnya, pelengkap derita. Dan corak-corak putih awan yang selalu menutupinya hadir biar hujan jelas darimana asalnya. Biar manusia tak berpikir bahwa di atas sana sesosok dewa hujan berarian di sepanjang langit membawa gentong air dan membuang-buang air miliknya karena bosan menonton manusia dari nirwana.
Dalam dunia tanpamu, lukisan-lukisan yang katanya aduhai indahnya hanyalah alasan bagi manusia-manusia yang malas belajar eksakta. Lalu menghabiskan hidupnya untuk membual soal kehidupan manusia dan dunia. Seolah paling mengerti dengan permasalahan manusia yang bahkan belum pernah ia jumpa.
Dalam dunia tanpamu, malam hanyalah pertanda bahwa jutaan sel yang ada disini butuh waktu istirahatnya. Dan pagi tak pernah membawa pengharapan bagi jiwa, ia datang karena begitulah Tuhan mengutusnya hingga hari akhir tiba. Hanya karena dia tak punya kuasa untuk menolak, ia jalani tugasnya tanpa tanya.
Dalam dunia tanpamu, bernafas hanyalah sebuah proses yang tak bisa kutolak dengan cara biasa. Terlalu sakit jika harus berhenti bernafas dan menghabiskan waktu untuk membayangkan akan dunia yang jiwamu hadir bersamanya. Ya, dalam dunia tanpamu bahkan atas hidupku sendiri aku tak punya kuasa. Apalagi jika harus mengubah dunia. Ia tak lebih dari para pendosa yang bermimpi kelak akan menyeruput segelas susu di surga.
Dalam dunia tanpamu, aku mati rasa. Rasa hanya bagi mereka yang lemah dan tak punya logika. Maka satu nyawa yang hilang sia-sia senja ini tak pernah jadi salah siapa-siapa. Kematiannya hanya tanda bahwa jiwanya tak cukup tenaga untuk menikmati yang Tuhan ciptakan di semesta.
Dalam dunia tanpamu, jiwaku gagal memahami rasa. Ia juga tak bisa berkenalan dan berteman dengan jiwa. Maka kehidupan hanyalah permainan soal siapa yang lebih kuasa. Kematian satu jiwa, dua jiwa, atau ribuan jiwa tak ada bedanya. Kematian olehnya, oleh dia atau olehku juga sama saja.
Dalam dunia tanpamu, aku pendosa.