Jika ditanya bagaimana batu bata
saling mengikatkan diri lalu membentuk asrama yang kita huni dahulu, aku akan
menjawab dengan tepat setiap rinciannya. Kalau perlu ditambah dengan setiap
desimal kekuatannya. Pun jika didesak menjelaskan kenapa selentingan kerikil
kecil saja bisa menghancurkan keseluruhan konstruksi jembatan, aku akan berdiri
dengan mantap menantang si penanya. Tapi kawan, jika aku ditanya bagaimana hati
yang tak terlihat ini mampu menerima cobaan yang datang dengan tegar bak ombak
menghempas karang, aku akan terdiam lantas beralih memintamu untuk menjawabnya.
Ini tahun kelima setelah
perkenalan pertama kita. Genap dua tahun setelah akhir dari kebersamaan kecil
kita di sekolah berasrama itu. Pelan-pelan kuraba hatiku, rasanya ada yang
hilang kawan. Kau tau apa itu? Itu kau. Kau yang biasanya bangun terlebih
dahulu lantas membangunkanku shalat subuh. Kau yang akan tetap berusaha berlari
sekuat tenaga meski wajahmu sudah merah padam. Kau yang mencuci semua piring
yang kami pakai untuk makan mie instant. Kau yang selalu pertama kali berlari
menghampiri jika salah satu dari kami terbaring sakit. Kau juga yang akan
menjadi orang paling sibuk ketika aku mempersiapkan diri pergi berlomba. Memastikan
tak ada barang yang ketinggalan, meyakinkan bahwa aku akan menang.
Jangan-jangan kau sudah lupa
dengan gadis tomat yang kuceritakan di atas? Aku, benar-benar merasa sudah
kehilanganmu. Bukan karena jarak ratusan kilometer yang memisahkan kita ini.
bukan. Kita sudah pernah berjanji bukan, bahwa jarak tak punya hubungan apa-apa
dengan persahabatan kita.
Kemarin, saat kau ceritakan
tentang luluhnya semangatmu, dalam hati aku menyusun pertanyaan untukmu. Impian
itu, sudah hilangkah? Hancurkah? Lumat bersama kata-kata penolakan dari orang
tuamu? Aku tau betapa kuat hasratmu mempelajari ilmu pertanian di kota hujan
itu. Ah, tapi kau juga sempurna memahami, betapa restu orang tua ada di balik
semua bahagia. Kalau tidak, kau tak mungkin bertahan di Bukittinggi sana. Menguliahi
diri dengan ilmu-ilmu yang tak kau cintai. Aku mengerti benar jalan pikiranmu.
Ingat ayah-ayah heroik kita? Saat malam tengah menua, mereka
masih terjaga. Melangkah pelan ke warung kopi sebelah. Sudah lama tak kesana,
sudah saatnya bertemu kawan lama. Mereka duduk sebentar, menikmati alunan musik
tua dari TV yang juga sama-sama tuanya.
Hingga seorang dari yang paling kaya berkata, “apa kabar anak
gadismu yang
kuliah di sana?
Beruntung sekali kau punya anak sehebat dia.” Dia hanya tersenyum, melipat
kembali ribuan yang awalnya ingin ia belikan secangkir kopi, pelepas penat hari
ini. Ia ingat, nun jauh di sana ada
yang menanti uang makan tiap bulan. Tak apa tak ada kopi, untuk anak sehebat
dia. Ia beranjak pergi, pulang lebih awal dari rencana semula. Besok harus
kerja keras lagi. Ah, tak ada kerja keras yang terlalu keras, untuk anak
sehebat dia. Sebuah senyum penutup hari ini.
Ah,bicara soal cinta, semua hanya
masalah waktu bukan? Kau juga akan mencintai perkuliahanmu nantinya. Semua
kebaikan punya potensi untuk dicintai, jadi ikhlaskanlah hatimu untuk
mengenalnya dengan baik. Tak ada kerja keras yang terlalu keras bukan? Untuk
ayah-ayah sehebat mereka?
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi
pada gadis tomat itu? Apa yang terjadi pada hati setahan karangmu? Kau bukan
Ina yang kukenal. Ini dunia kita Na dan tak ada yang bisa mengambilnya. Jadi,
saat kemarin kau meminta motivasi kepadaku, aku berpikir sehari semalam.
Menanyai hati terdalamku, bagaimanalah caranya memperlihatkan kepadamu bahwa
kaulah motivasi itu? Bagaimanalah menunjukkan bahwa harapan itu adalah dirimu?
Aku sungguh angkuh saat mengatakan jarak tak memainkan peran apapun pada
persahabatan kita. Nyatanya ia Na, telah memutuskan senyum yang biasa kita bagi
untuk saling menguatkan. Tapi tak apalah, bukankah semakin kuat ujiannya maka
semakin tinggi pula tingkatannya? Ini duniamu gadis tomat, jangan sampai kau
layu sebelum berbuah. Jangan patah semangat dulu, dunia masih butuh buah
tomat :P.