Minggu, 30 September 2012

Bilik Pikiran, Budaya yang Bertahan



Semua manusia pada hakikatnya sama. Baik ia yang berkulit putih, hitam maupun sawo matang. Tidak ada satupun di antara ras manusia yang memiliki perbedaan dalam fungsi dan peranan organ-organ tubuhnya. Semua sama dicipta sempurna, tanpa pandang bulu, warna apalagi agama. Yang menjadikan setiap manusia berbeda adalah bagaimana antara satu organ dan organ lainnya berinteraksi. Setiap organ manusia memiliki kemungkinan berinteraksi yang  beragam. Kemungkinan-kemungkinan interaksi yang terjadi ini akhirnya mengidentifikasikan manusia itu menjadi dirinya sendiri. Sesuatu yang ia punya dan menjadi ciri khasnya.

Aku berpikir, karena itu aku ada. Buah pikiran yang penuh pertimbangan tersebut menjadikan Decrates seorang filsuf besar. Bagaimana ia memandang dirinya sendiri dan bagaimana ia mengidentifikasikan serta mengintegrasikan keberadaan dirinya dengan lingkungannya. Saat manusia berpikir, ia mengaktifkan fungsi otak dan kelima indranya. Bagaimana ia merasakan sesuatu dengan  objektif lantas mengintegrasikan semua hubungannya di dalam bilik pikiran. Proses yang terjadi di dalam bilik pikiran ini merupakan proses penting karena setiap orang memiliki bilik pikiran masing-masing. 

Misalnya saja, secara sederhana kita analogikan bilik pikiran seorang nelayan berupa ruang terang berwarna biru dengan dinding yang disusun oleh triliyunan ikan warna-warni. Akan sangat berbeda dengan bilik seorang pustakawan yang mungkin saja berupa ruangan penuh koleksi buku-buku kuno dan lembaran-lembaran penting dalam sejarah. Apakah bentuk bilik pikiran ini penting? Tentu saja, karena ia menggambarkan benda-benda yang ada di sekeliling pemiliknya dan menempati bagian tertentu di hati mereka. Singkatnya bentuk bilik pikiran merupakan hasil interaksi alam pikiran manusia dengan alam disekitarnya.

Namun, proses di dalam bilik pikiran tidak akan menjadi begitu penting ketika kita berbicara mengenai ‘aku dan orang-orang di sekitarku’. Apa yang terjadi di dalam bilik pikiran adalah proses khusus yang hanya bisa dinikmati oleh sang pemilik. Tidak akan ada orang lain yang bisa melihatnya bersama sang pemilik. Bilik tersebut adalah ruang eksklusif resmi milik setiap orang dengan tingkat keamanan paling tinggi yang pernah ada. 

Aku berpikir, karena itu aku ada. Benarkah berpikir yang dimaksud oleh filsuf besar ini adalah proses yang terjadi di dalam bilik pikiran tersebut? Jika proses tersebut hanya dapat diketahui oleh masing-masing orang, bukankah konsep bahwa aku ada tersebut hanyalah anggapan subjektif semata? Karena sejatinya, keberadaan bukanlah dinilai dari apa yang manusia pikirkan namun dari apa yang telah ia lakukan. Karena itu, pengkonversian pikiran ke dalam bentuk nyata yang dapat dirasakan oleh makhluk hidup lain menjadi sangat penting. 

Interaksi antara otak (bilik pikiran) dengan semua organ tubuh pada akhirnya menjadi buah karya manusia yang kita sebut dengan budaya. Jadi dapat disimpulkan budaya merupakan hasil dari proses dalams sebuah sistem yang sangat panjang dan rumit. Ia dimulai dari proses pengenalan lingkungan yang membangun sebuah bilik pikiran bagi manusia. Lalu diakhiri dengan penerjemahan sinyal-sinyal dari bilik pikiran ke dalam bentuk yang lebih nyata. Sehingganya, budaya merupakan sebuah identitas yang unik bagi setiap perkumpulan manusia.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, proses berpikir tidak akan pernah bisa dilihat oleh manusia lain. Karenanya manusia butuh alat untuk merepresentasikannya. Maka saat budaya satu bangsa hancur, punah dapat dikatakan secara sederhana bahwa bangsa tersebut dapat dianggap tidak pernah ada. Untuk itu, pelestarian budaya merupakan sebuah usaha untuk mengatakan pada bangsa lain bahwa kita ada. 

Budaya sebagai identitas menjadikan bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lainnya. Menjadikannya pembeda yang layak, pengenal. Layaknya seorang pelukis yang akan langsung dikenali hanya dengan guratan kuasnya di atas canvas. Hasil dan bentuk budaya dapat berubah namun pemikiran yang melatar belakangi budaya sebuah bangsa seharusnya tidaklah berubah. Sesuatu yang tidak dilihat dengan manusia, melainkan dikenal melalui jiwa. Ibarat sebuah rumah, apakah rumah adalah sebuah bangunan dengan pembatas dinding dengan atap segitiga? Lantas ketika dinding-dindingnya diambil, apakah ia tak lagi menjadi rumah? Tetap rumah bukan? Itulah jiwa rumah, hasil pemikiran yang tidak akan berubah dengan gamblangnya.

Yang menjadi bahan pertimbangan pada era globalisasi ini bukanlah apa yang tampak dari budaya itu, melainkan apa yang ia kandung. Selama alasan dibalik bergabungnya suatu budaya yang sudah ada dengan budaya dari bangsa asing merupakan hasil dari proses yang berjalan benar di dalam bilik pikiran maka tak akan mengubah inti dari budaya tersebut. Jika bergabungnya dua kebudayaan bukanlah karena latah mengikuti trend yang sedang marak melainkan dapat dipertanggungjawabkan nantinya maka tak pernah ada yang salah dalam kebudayaan yang dihasilkan.

Budaya, seperti pakaian yang dipakai oleh manusia. Ketika ia diganti bukan berarti manusianya menjadi berbeda. Ia tetap jiwa yang sama hanya dalam bentuk yang berbeda. Sementara ketika kita berbicara mengenai budaya, maka hasil pemikiran yang mengidentifikasikan manusia adalah karakter yang menjadi jiwa dari manusia tersebut. Melestarikan sebuah budaya bukan berarti mempertahankan bentuknya agar tetap sama sepanjang waktu, melainkan untuk menjaga jiwanya agar tidak mati tergantikan oleh paham yang masuk dari luar.

Melestarikan berarti membawanya mengikuti perkembangan manusia. Bukan berusaha untuk melawan pertumbuhannya agar ia tetap sama. Bagaimanapun, manusia tidak dapat melawan alam. Semua merupakan sebuah mekanisme mesin teratur yang tak akan mengkhianati takdirnya. Maka perlawanan adalah sebuah bentuk kesia-siaan yang hanya akan merusak jiwa dari budaya itu sendiri. Sederhananya, mengapa sebuah budaya harus dilestarikan tidak lain karena ia merupakan sebuah tanda pengenal yang menjadikan suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain. Karena budaya merupakan sebuah hasil sebuah proses berpikir yang merupakan tanda bahwa kita, bangsa Indonesia, ada.

Selasa, 11 September 2012

Wedding Cake Topper

They are just too cute :3
Want to googling them again and again :p

 








source : http://www.weddingcollectibles.com/images/stupidest-cake-toppers/james-bond-wedding-cake-topper.jpg
http://www.bestofcake.com/funny-cake-topper-for-wedding-cakes/
 http://junglemagazine.com/img/fun/funny-wedding-cake-toppers/funny-wedding-cake-toppers01.jpg
http://www.weddingsoon.co.uk/uploads/thumb/humorous_wedding_cake_toppers.jpg
http://www.weddingsalon.com/blog/wp-content/uploads/2012/11/drunken-bride-groom-wedding-cake-topper.jpeg