Semua
manusia pada hakikatnya sama. Baik ia yang berkulit putih, hitam maupun sawo
matang. Tidak ada satupun di antara ras manusia yang memiliki perbedaan dalam
fungsi dan peranan organ-organ tubuhnya. Semua sama dicipta sempurna, tanpa
pandang bulu, warna apalagi agama. Yang menjadikan setiap manusia berbeda
adalah bagaimana antara satu organ dan organ lainnya berinteraksi. Setiap organ
manusia memiliki kemungkinan berinteraksi yang
beragam. Kemungkinan-kemungkinan interaksi yang terjadi ini akhirnya
mengidentifikasikan manusia itu menjadi dirinya sendiri. Sesuatu yang ia punya
dan menjadi ciri khasnya.
Aku
berpikir, karena itu aku ada. Buah pikiran yang penuh pertimbangan tersebut
menjadikan Decrates seorang filsuf besar. Bagaimana ia memandang dirinya
sendiri dan bagaimana ia mengidentifikasikan serta mengintegrasikan keberadaan
dirinya dengan lingkungannya. Saat manusia berpikir, ia mengaktifkan fungsi
otak dan kelima indranya. Bagaimana ia merasakan sesuatu dengan objektif lantas mengintegrasikan semua
hubungannya di dalam bilik pikiran. Proses yang terjadi di dalam bilik pikiran
ini merupakan proses penting karena setiap orang memiliki bilik pikiran
masing-masing.
Misalnya
saja, secara sederhana kita analogikan bilik pikiran seorang nelayan berupa
ruang terang berwarna biru dengan dinding yang disusun oleh triliyunan ikan
warna-warni. Akan sangat berbeda dengan bilik seorang pustakawan yang mungkin
saja berupa ruangan penuh koleksi buku-buku kuno dan lembaran-lembaran penting
dalam sejarah. Apakah bentuk bilik pikiran ini penting? Tentu saja, karena ia
menggambarkan benda-benda yang ada di sekeliling pemiliknya dan menempati
bagian tertentu di hati mereka. Singkatnya bentuk bilik pikiran merupakan hasil
interaksi alam pikiran manusia dengan alam disekitarnya.
Namun,
proses di dalam bilik pikiran tidak akan menjadi begitu penting ketika kita
berbicara mengenai ‘aku dan orang-orang di sekitarku’. Apa yang terjadi di
dalam bilik pikiran adalah proses khusus yang hanya bisa dinikmati oleh sang
pemilik. Tidak akan ada orang lain yang bisa melihatnya bersama sang pemilik.
Bilik tersebut adalah ruang eksklusif resmi milik setiap orang dengan tingkat
keamanan paling tinggi yang pernah ada.
Aku
berpikir, karena itu aku ada. Benarkah berpikir yang dimaksud oleh filsuf besar
ini adalah proses yang terjadi di dalam bilik pikiran tersebut? Jika proses
tersebut hanya dapat diketahui oleh masing-masing orang, bukankah konsep bahwa
aku ada tersebut hanyalah anggapan subjektif semata? Karena sejatinya,
keberadaan bukanlah dinilai dari apa yang manusia pikirkan namun dari apa yang
telah ia lakukan. Karena itu, pengkonversian pikiran ke dalam bentuk nyata yang
dapat dirasakan oleh makhluk hidup lain menjadi sangat penting.
Interaksi
antara otak (bilik pikiran) dengan semua organ tubuh pada akhirnya menjadi buah
karya manusia yang kita sebut dengan budaya. Jadi dapat disimpulkan budaya
merupakan hasil dari proses dalams sebuah sistem yang sangat panjang dan rumit.
Ia dimulai dari proses pengenalan lingkungan yang membangun sebuah bilik
pikiran bagi manusia. Lalu diakhiri dengan penerjemahan sinyal-sinyal dari
bilik pikiran ke dalam bentuk yang lebih nyata. Sehingganya, budaya merupakan
sebuah identitas yang unik bagi setiap perkumpulan manusia.
Seperti
yang disebutkan sebelumnya, proses berpikir tidak akan pernah bisa dilihat oleh
manusia lain. Karenanya manusia butuh alat untuk merepresentasikannya. Maka
saat budaya satu bangsa hancur, punah dapat dikatakan secara sederhana bahwa
bangsa tersebut dapat dianggap tidak pernah ada. Untuk itu, pelestarian budaya
merupakan sebuah usaha untuk mengatakan pada bangsa lain bahwa kita ada.
Budaya
sebagai identitas menjadikan bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lainnya.
Menjadikannya pembeda yang layak, pengenal. Layaknya seorang pelukis yang akan
langsung dikenali hanya dengan guratan kuasnya di atas canvas. Hasil dan bentuk
budaya dapat berubah namun pemikiran yang melatar belakangi budaya sebuah
bangsa seharusnya tidaklah berubah. Sesuatu yang tidak dilihat dengan manusia,
melainkan dikenal melalui jiwa. Ibarat sebuah rumah, apakah rumah adalah sebuah
bangunan dengan pembatas dinding dengan atap segitiga? Lantas ketika
dinding-dindingnya diambil, apakah ia tak lagi menjadi rumah? Tetap rumah
bukan? Itulah jiwa rumah, hasil pemikiran yang tidak akan berubah dengan
gamblangnya.
Yang
menjadi bahan pertimbangan pada era globalisasi ini bukanlah apa yang tampak
dari budaya itu, melainkan apa yang ia kandung. Selama alasan dibalik
bergabungnya suatu budaya yang sudah ada dengan budaya dari bangsa asing
merupakan hasil dari proses yang berjalan benar di dalam bilik pikiran maka tak
akan mengubah inti dari budaya tersebut. Jika bergabungnya dua kebudayaan
bukanlah karena latah mengikuti trend yang sedang marak melainkan dapat
dipertanggungjawabkan nantinya maka tak pernah ada yang salah dalam kebudayaan
yang dihasilkan.
Budaya,
seperti pakaian yang dipakai oleh manusia. Ketika ia diganti bukan berarti
manusianya menjadi berbeda. Ia tetap jiwa yang sama hanya dalam bentuk yang
berbeda. Sementara ketika kita berbicara mengenai budaya, maka hasil pemikiran
yang mengidentifikasikan manusia adalah karakter yang menjadi jiwa dari manusia
tersebut. Melestarikan sebuah budaya bukan berarti mempertahankan bentuknya
agar tetap sama sepanjang waktu, melainkan untuk menjaga jiwanya agar tidak
mati tergantikan oleh paham yang masuk dari luar.
Melestarikan
berarti membawanya mengikuti perkembangan manusia. Bukan berusaha untuk melawan
pertumbuhannya agar ia tetap sama. Bagaimanapun, manusia tidak dapat melawan
alam. Semua merupakan sebuah mekanisme mesin teratur yang tak akan mengkhianati
takdirnya. Maka perlawanan adalah sebuah bentuk kesia-siaan yang hanya akan
merusak jiwa dari budaya itu sendiri. Sederhananya, mengapa sebuah budaya harus
dilestarikan tidak lain karena ia merupakan sebuah tanda pengenal yang
menjadikan suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain. Karena budaya merupakan
sebuah hasil sebuah proses berpikir yang merupakan tanda bahwa kita, bangsa
Indonesia, ada.