Senin, 09 April 2012

Kasim Wolf


Tantangannya adalah seberani apa kita meraba apa yang ada di balik kematian. Kisah kematian, sepanjang jalan hidupnya manusia layaknya sudah seperti matahari yang terbit di kala pagi dan terbenam saat senja. Suatu kepastian yang tak perlu dikritisi lagi. Semua yang bernyawa pasti mati.

Tapi mengertikah kau kawan, manusia adalah makhluk lemah. Kita lebih acap  menginginkan akhir yang bahagia daripada belajar dari kisah yang Allah torehkan di atas bumi. Dan malangnya, kematian dari zaman batu dahulu telah dianggap sebagai gerbang pemisah abadi. Jarang, sungguh jarang sekali yang mempertanyakan apa yang ada di balik kematian. Hanya sedikit yang mampu mengambil hikmah dari kiamat sugra ini. kebanyakan malah memilih berdiam lama meratapi perpisahan.

Kasim Wolf namanya, seorang bocah tujuh tahun yang terpaksa menyaksikan nenek yang sangat ia cintai meregang nyawa tepat di depan mata. Beruntung, saat itu Allah bermurah hati mengirimkan sedikit cahaya ke hatinya. Bukan tangisan yang tumpah saat itu, bukan pula teriakan meminta keadilan dari langit. Kasim kecil -tanpa orang tua, tanpa pengetahuan- saat itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang terjadi setelah kematian? Sebuah pertanyaan mendalam yang nantinya menggiring langkahnya menuju jalan Allah.

Eropa 1981, Kasim sudah beranjak remaja. 18 tahun usianya saat Allah memperkenalkannya pada islam untuk pertama kalinya. Sungguh indah perkenalan itu. Dari sekian banyak kota-kota di Eropa yang ia jelajahi saat itu, di kota Tangierlah ia mendengar suara adzan. Seruan terindah untuk pertama kalinya seumur hidup. Mungkin kau tak tahu apa yang ada di kota kecil kita ini. Di sinilah saudaraku, penjelajah legendaris Muslim Ibnu Batuta dilahirkan, mengenal islam dan merancang perjalanannya. Kasim, penjelajah kecil kita bertemu islam di ranah penjelajah Muslim termahsyur. Indah bukan? Bukan kebetulan yang bicara di sini kawan, semuanya telah Ia atur. Tersusun rapi dalam peta hidup Kasim kecil kita.

Setahun kemudian, penjelajah baru kita merapatkan kapalnya di Schweinfurt, dimana dari abad ke-18 alqur’an sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Di sinilah ia mulai menghabiskan waktunya untuk menggali islam. Memahami pesan-pesan Allah melalui alqur’an. Hingga di suatu masa, pertanyaan yang sudah terpendam selama puluhan tahun itu terjawab tuntas. Tuntas sudah, hingga tak ada lagi pertanyaan lain yang mampu mengikutinya. Untuk apa manusia hidup, apa yang harus dilakukan selama hidup, apa yang ada di balik kematian dan persiapan apa yang harus dilakukan.

Indonesia 1996, Muhammad Kasim wolf menginjakkan kaki di nusantara. Dua puluh enam tahun berlalu sejak hidayah itu pertama kali menyapa, Kasim telah tumbuh dewasa. Tiga puluh tahun usianya sekarang dan akhirnya ia memilih islam untuk membimbingnya dalam penjelajahannya yang masih panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar