Senin, 23 September 2013

Kecipak Cinta dari Sungai Kapuas


Judul Buku      : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis            : Tere Liye
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit    : 2012
Tebal Buku     : 512 halaman

Jikalah manusia mampu memahami, bahwa tak pernah sekalipun yang namanya kebetulan menginjakkan kaki di dunia ini maka akan semakin betebarlah rasa syukur dan penghambaan pada Dia Yang Kuasa. Kejadian-kejadian tak terduga yang menyapa sejatinya kumpulan dari doa-doa yang jawabannya ditunda, penghapus dosa-dosa kecil yang dikerjakan serta bayaran atas usaha-usaha nan telah lalu. Aduhai, jikalau satu daun yang jatuh ke bumi saja tak pernah luput dari mata awasNya, apalagi dengan hidupmu wahai manusia, makhluk yang diciptakanNya dengan sempurna.

Kisah cinta adalah milik semua manusia, baik bagi ia yang duduk di bangku penguasa maupun yang tengah mengorek makanan sisa dari tempat-tempat sampah di samping kedai makanan. Cinta tak pernah memandang pada siapa ia mengikatkan nafasnya. Manusia dan cintanya, adalah aneka rupa warna-warni yang beriak membentuk bumi. Seperti riak Sungai Kapuas, kadang surut kadang memuai.

Banyak yang jatuh cinta, banyak pula yang patah hatinya lalu terluka serta mulai membenci cinta. Namun lebih banyak yang tak sadar untuk apa mereka mencinta. Borno, yang belum pernah berkenalan dengan cinta paham bahwa tanpa cintanya dunia tak akan berubah. Hanya saja dalam pandangan matanya, Sungai Kapuas tak akan pernah sama lagi. Sama sekali tak akan pernah sama.

Bujang Melayu yang lurus hatinya. Hidup sederhana dalam lingkungan ramah Melayu Pontianak.  Suatu masa, tibalah masanya ia berkenalan dengan cinta. Ah, cinta pertama. Mendengarnya saja sudah menguak kenangan-kenangan indah lama itu. Sedang jatuh cinta bujang kita ini. Benar-benar kuasa cinta itu, mengemudi sepit yang dahulunya membosankan kini menjelma menjadi waktu-waktu tak tertahankan. Meski hanya satu dua tiga kecipak air, cukup baginya biar bertemu yang dicinta.

Bukan cinta namanya jika tak pernah membawa perasaan pada gelombang tak bertuan. Begitu pula cinta pertama Borno, cinta itu membawa luka bersama datangnya. Bujang itu, lambat laun tenggelam dalam dukanya. Namun tersebutlah Andi, seorang kawan yang mengingatkan kita bahwa tak hanya cinta buta nan merana yang ada di kehidupan manusia. Ada cinta dari setiap ia yang melangkahkan kaki ke dalam kehidupanmu. Bukan dengan bahu siap ditumpangi tangisan ia datang, namun dengan penyadaran bahwa selalu masih ada hal yang harus diperjuangkan bagi orang-orang yang kita kenal.

Tak jauh beda dengan Andi yang menyayangi Borno dengan caranya. Bang Togar, yang dikenal dengan ketegasannya pun pada akhirnya memperlihatkan kepada kita bahwa semua orang memiliki caranya masing-masing untuk mencintai. Hanya saja terkadang cara itu terlalu rumit untuk kita pahami, kecuali dengan sabar menunggu cinta itu berbunga di waktu yang tepat. Sabar, adalah bentuk cinta yang tak ada batasnya. Ia berarti kepercayaan tak terperi bagi para pecinta. 

Jika Andi hadir dari kalangan muda, sementara Bang Togar mewakili usia pertengahan baya. Maka lengkaplah dengan hadirnya Pak Tua sang cendekiawan cinta Kapuas. Agak ironi sebenarnya, karena yang hadir sebagai cendekiawan cinta kita adalah ia yang tak menikah selama hidupnya. Tapi tentu saja, seorang lelaki sebijaksana Pak Tua, punya cara tersendiri untuk mencintai. Entah itu kita ketahui, entah tidak.

Bicara soal kebetulan dan cinta Borno, bukan kebetulan saat ayah Borno memutuskan menyumbangkan nyawa terakhirnya kala itu. Itu adalah wujud cinta. Bukan kebetulan saat Borno memburu nomor undian 13 dalam atrian sepit. Itu adalah usaha cinta. Bukan kebetulan saat ia bertemu pujaan hatinya di tanah Jawa. Itu adalah jawaban akan usaha kerasnya mencari-cari cinta. Bukan kebetulan saat angpau merah penyelesai cerita kita ini jatuh di sepit Borno. Angpau yang jatuh itu juga salah satu wujud cinta, kawan.

Cita rasa kehidupan di sepanjang Sungai Kapuas yang kental. Itulah hal yang pertama kali menyelimuti rongga dada saya. Dari Depok sini, saya mampu melihat gang-gang sempit tempat Borno mengemudikan sepitnya di pagi buta. Gurauan-gurauan pengemudi sepit yang buncah di kedai-kedai kopi. Benar-benar, sungguh sangat Melayu. Kepiawaian Tere Liye membangun suasana Melayu inilah yang menjadikan kisah cinta bujang kita terasa sangat dekat, tidak mengawang-awang. Kedalaman riset dan kemampuan membaca alam dan budaya yang menawan. Dan tentu saja, pengungkapannya dalam bahasa lokal yang menjadikannya sangat Pontianak.

Alur cinta yang dinamis dan mengejutkan. Selalu saja ada cara Yang Kuasa untuk mempertemukan cinta bujang   Melayu ini. Sungguh kisah sederhana nan manis. Namun, meski demikian hebatnya, saya merasa tertipu saat membaca buku ini. Saya, sejujurnya, hanya mempersiapkan diri untuk membaca sebuah kisah menakjubkan, bukan bertubi-tubi kisah cinta yang selama ini terhapus oleh paradigma saya mengenai cinta sejati. Akui saja, kau pun hanya akan mengingat sebuah hubungan asmara antara perempuan dan lelaki saat mendengar kata cinta.  Padahal ada tak terbatas rasa cinta yang tumbuh tanpa kita sadari. Ya, kita tertipu paradigma sendiri selama ini.

Ada cinta yang diajarkan oleh ayah Borno, bahwa keikhlasannya berbuah menjadi hadiah indah baginya dan keluarganya. Ikhlasnya, adalah bukti kecintaan yang luar biasa dalam. Cinta yang tak pernah hilang, ialah kisah cinta sahabat Pak Tua. Fulan, mencintai baginya adalah kata kerja yang tak pernah ada pensiunnya. Bang Togar dan cinta yang nekat. Andi dan cinta yang menyadarkan serta beragam ungkapan cinta yang tak terungkapkan. Meski tertipu, saya suguhkan secangkir terima kasih karena telah menyadarkan saya dari paradigma yang selama ini saya tuturkan sendiri.

Kisah cinta yang meliuk, berliku dan beriak. Persis. Persis seperti sepit Borneo yang membelah sungai Kapuas. Namun, bukan karena itu ia menjadi istimewa. Bukan karena  akhirnya bahagia ia lantas dipuja. Bukan juga karena hadirnya Pak Tua, lakon kita yang sangat bijak tutur katanya. Namun, karena mereka menyadarkan kita bahwa tak pernah ada kata sia-sia bagi apapun yang tengah kita perjuangkan. Memberi pemahaman bahwa kebetulan, hanya ada bagi mereka yang tak berjuang cita-citanya. Dan karena kisah ini dituturkanlah, ia menjadi istimewa.

Untuk mereka yang mengaku tak pernah dicintai, lalu bagi mereka yang berkoar-koar pada dunia bahwa cintanya sejati dan mereka yang sampai sekarang masih terbelenggu dengan rumitnya kisah cinta yang tengah ia hadapi. Bagi mereka semualah, buku ini saya rekomendasikan. Agar mereka paham bahwa cinta tak hanya ungkapan-ungkapan manis, setangkai bunga dan sekotak coklat. Agar mereka paham bahwa ada banyak kebaikan bagi ia yang ikhlas, sabar dan tetap berusaha. Agar mereka yakin bahwa tak sia-sia dan kebetulan tak pernah ada bagi manusia yang berusaha. Semua kebaikan yang mereka terima adalah kumpulan kerja keras dan doa-doa yang ditunda.

2 komentar:

  1. Ichin....................................
    *Banjir air mata, hueeeeee~~~~
    Jadi inget sesuatu di antara kitaaaa.. :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. uhuk. Sesuatu di antara kita? Ada apa? Atau ada siapa? hahhaah

      Hapus