Minggu, 22 September 2013

Percaya deh, Hidup itu Indah!

Pernah dengar murid yang benci gurunya? Sering kan? Nah, cerita pertama di proyek 21 gue kali ini bercerita soal kisah klasik ini.

Gue pertama kali ketemu bapak guru ini pas kelas X di SMAN Agam Cendekia.  Beliau guru fisika yang muda, ganteng, dan cerdas. Lazimnya, murid putri yang seusia gue kala itu bakalan jatuh hati dan mengidolakan si bapak yang mendekati sempurna ini. Tapi gak bagi gue, sebaliknya gue malah benci banget sampai ke tulang sumsum belakang sama dia. Why? Karena bapak gue tercinta yang satu ini suka banget ngebanding-bandingin siswanya. Gue yang tertakdir duduk di kelas X.a selalu dibanding-bandingkan dengan murid-murid kelas sebelah.

"Ah, kok soal gini aja lama? Tadi di kelas sebelah semua pada bisa," adalah omongan yang sehari-hari yang biasa gue dengar. Sebenernya gue paham kalau kalimat itu diucapkan agar kita semangat belajarnya. Tapi jiwa labil jaman abege gue ga bisa merespon trik psikologis ini dengan cerdas. Gue terpancing, emosi dan akhirnya melawan. Iye gue melawan itu bapak guru. Secara frontal, di satu siang yang indah gue bilang sama si bapak
"Saya benci banget sama Bapak" dan berlari meninggalkan ruangannya di kantor. Sejenis sama scene murahan di drama picisan begitu.

Besoknya ketika belajar fisika, gue melakukan aksi terhebat gue. Ngambek. Iye, gue mogok belajar. Pinter yah. Gue sedikit berharap, bapaknya minta maaf ke gue. Tapi ternyata yang gue dapat adalah pernyataan perang!
"Ini si Alfi, mending ngemil granat aja deh," iya gue ga salah ngetik. Kalian ga salah baca. Gue disuruh ngemil granat. Kalau diterjemahin ke bahasa manusia artinya kurang lebih "Ini si Alfi, mending mati aja sana" Manis dan romantis ya? Dan percakapan ini terjadi di dalam kelas saat proses belajar mengajar berlangsung. Untung gue kuat, jadi ucapannya ga ngefek. Kalo si bapak ngomong ke sodara gue yang suka main perasaan, beneran ngemil granat kali yah dia. hahaha

Setahun penuh gue jalani dengan menekan perasaan benci. Mogok belajar di kelas. Untungnya di sekolah gue ada kelas fisika plus. Jadi meski ga belajar di kelas fisika nasional, gue  masih bisa survive dengan nilai-nilai yang fantastis. Emang dasarnya pinter kali yah. Dan yah, berhubung gue tergabung dalam anak olimpiade fisika, gue juga dapet kelas pembinaan fisika di luar jam sekolah. So, kemogokan gue di kelas fisika si bapak ga terlalu memengaruhi akademis gue.

Di akhir tahun, gue dan dua orang temen gue yang juga merasakan kebencian yang sama kepada bapak fisika ini akhirnya melakukan tindakan nyata. Kami bertiga mendatangi Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan untuk mengungkapkan segala kebencian kami. Tanpa rasa bersalah karena kami bertindak atas nama HAM dan masa depan gemilang. Sore itu di samping ayunan tua dekat kantor kepala sekolah kami meminta bapak wakepsekbidsis untuk memasukkan kami ke kelas XI yang tidak diajar oleh bapak fisika ini. Bapak wakepsek mendengar dan cuma tersenyum kepada kami, menutup tahun ajaran kala itu.

Juni, 2008

Gue memasuki tahun ajaran baru dengan langkah tegap, penuh percaya diri bahwa tahun kedua gue akan gemilang. Sampai gue mendengar berita paling mengejutkan Senin paginya. Tak hanya gue mesti diajar fisika oleh bapak yang sangat gue benci ini, tapi sekaligus harus menerima kenyataan bahwa dia bakal jadi wali kelas gue selama satu tahun ke depan. Dua temen gue yang lain? Satu orang senasib sama gue, yang satu lagi mendapatkan nasib yang lebih baik.

Seperti biasa, saat kelas fisika nasional gue akan selalu mogok belajar. Iya, sekarang gue sadar gue teramat sangat kekanak-kanakan. Tapi, entah kenapa kali ini si bapak ga melawan gue lagi. Yang ada tiap hari dia menatap gue dengan baik dan berkata "Alfi, ayo belajar" Lalu kalau ada soal di papan tulis, "Alfi bisa kan? Ayo kerjain di depan" dan ucapan baik lainnya. Sejujurnya gue sedikit terenyuh sama kesabaran si bapak menghadapi gue yang keras kepala ini. Tapi yah, namanya juga pride ketinggian kagak bisa baik-baik sama bapaknya.

Bapak ganteng ini pernah ngasih hadiah ke siswa-siswanya yang bisa khatam Al-qur'an selama ramadhan. Dan surprisingly gue termasuk ke dalam salah satu siswa yang dikasih hadiah. Pas pembagian hadiah, si bapak tersenyum ke gue dan ngasih buku berjudul "Percaya deh, Hidup itu Indah!". Gue menerima buku tersebut dengan pemikiran 'Emang tampang gue semisery itu apa? Sampai harus dikasih buku beginian?'

Kebencian gue ga pernah berkurang, sampai suatu saat dia nanya ke gue hal yang bahkan gue ga tau.
1. Dia satu-satunya yang sadar bahwa nama gue beda antara nama di Ijazah dan nama yang biasa gue tulis kalau di ujian.
2. Dia tau gue ga suka minum air putih.
3. Dia satu-satunya yang nanya, gue sesungguhnya mau ikut olimpiade apa. Iya, kelabilan gue mencakup olimpiade apa yang akan gue ikutin. Ah, sebenernya gue disuruh ikut olimpiade astronomi karna gue suka baca-baca tentang perbintangan. Tapi hati kecil gue teriak-teriak pengen olimpiade fisika. Iya gue sok pinter. Dan bapak inilah yang memahami gue apa adanya.

Maka semenjak itu, kebencian gue mulai sirna. Terlepas dari jebakan dia yang membuat gue mesti nyalon jadi Ketua OSIS. Gue sayang bapak gue ini apa adanya. Dari bapak ini gue belajar bagaimana kesabaran bisa mengalahkan kebencian.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar