Bicara soal
sosok inspiratif, jika kau tanya aku, siapa lagi yang akan kujawab selain ayahku? Ah, aku
bukannya hendak membangga-banggakannya karena tubuhku mengandung setengah dari
DNAnya, bukan. Tapi karena memang sosoknya, pribadinya yang akan terus
menemani hidupku agar berusaha sekuat
yang aku bisa. Ia bukan sarjana, hanya seorang lulusan SMA yang mencoba
bertaruh dengan hidup. Hei,
aku enam bersaudara, ditambah dengan sepupu yang kehilangan orang tuanya genap
sebelas mulut yang harus beliau beri makan tiap hari tanpa henti. Maka baginya,
hidup adalah petarungan. Berangkat kala subuh, lantas pulang saat adzan Isya
berkumandang. Baginya hidup adalah kerja keras tanpa henti. Tapi, pernahkah ia
mengeluh? Tidak! Tak sekalipun.
Ia adalah
pencari ilmu sejati, pejuang ilmu yang tak kenal lelah. Zaha Hadid, Ridwan Kamil ataupun mungkin diakui dunia
sebagai arsitek di jamannya. Namun dimataku arsitek yang paling keren tetaplah
ayahku. Rumah mungil di sudut Sumatra Barat itu,
ia sendiri yang membangunnya. Dengan tangan yang dahulu kerap ia gunakan untuk
menggendongku. Sedikit demi sedikit menyatukan potonga-potongan kayu itu
menjadi naungan yang menentramkan. Menjadi
tempatku berkeluh kesah maupun menertawakan bahagia.
Ia sang ahli
mesin, cukup sekali pandang, mesin-mesin
yang kubrowsing dari internet akan sangat cepat berpindah pada sistem logis
yang ia gambarkan di bukuku. Jangan tanya soal peternakan, mulai dari
peternakan ayam pedaging, ikan kolam air deras hingga ikan air tenang lengkap
melingkari gubuk kecil kami. Menjadi penghibur perut yang lapar kala hidup
mulai menguji. Ah, apalagi masalah pertanian. Seandainya mampu, akan kunobatkan
ayahku sebagai petani sejati. Bukan karena ayah selalu mampu menebak kapan
musim bertani yang baik, bukan karena hasil pertanian kami yang selalu melimpah
ruah. Sama sekali bukan karena itu. Tak terbilang masa-masa kami harus melawan
hama tanaman yang membuas. Tak terhitung masa-masa hasil pertanian hanya cukup
memenuhi perut sebulan saja. Ayahku petani sejati karena ia tak pernah mengeluh
saat panennya terganggu. Ayah petani sejati karena ia tak pernah menyerah,
selalu mencoba tanaman baru untuk dikelola. Ayah petani sejati karena ia
pembelajar alam sejati.
Dari sekian
banyak hal yang membanggakan dari ayahku, kau tau poin yang paling menginspirasiku darinya? Poin yang
menerjemahkan kelelahanku di bangku kuliah ini menjadi penyesalan dan rasa malu
yang tak tertahankan. Seberapa sering aku mengeluh di dunia maya? Menyesalkan
betapa susahnya hidup menjadi mahasiswa? Mengeluhkan tugas-tugas yang tiada akhirnya?
Tak terhitung kawan. Sementara disana, di kaki gunung Pasaman sana ayahku tengah terkantuk
kelelahan setelah bertarung seharian. Di tangannya yang terkulai, terbuka lebar
buku pertanian yang kubelikan dahulu. Dengan matanya yang mulai kurang awas, mempelajari
lagi cara bertani yang lebih baik. Atau kadang, memintaku menjelaskan kembali
prinsip kerja listrik, dinamo
dan turbin. Katanya ingin membangun PLTA kecil-kecilan di rumah kami. Sayang,
sungai yang airnya melimpah di belakang rumah itu tak dioptimalkan. Energy alam yang disia-siakan. Ayah menunjukkanku
sebuah pemahaman, ilmu bukan hal yang akan berhenti kau pelajari saat lulus
nanti. Meski dunia mengecewakanmu dan kau tak mampu membeli ilmu yang semakin
hari semakin mahal itu, maka nak, kau bisa mempelajarinya dengan gratis di
alam. Alam adalah kitab ajaib sempurna dimana semua ilmu ditorehkan. Ayahku, hanya lulusan SMA,
tapi dimataku ia sempurna Insinyur sejati didikan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar