Kamis, 27 Desember 2012

Gadis Tomat



Jika ditanya bagaimana batu bata saling mengikatkan diri lalu membentuk asrama yang kita huni dahulu, aku akan menjawab dengan tepat setiap rinciannya. Kalau perlu ditambah dengan setiap desimal kekuatannya. Pun jika didesak menjelaskan kenapa selentingan kerikil kecil saja bisa menghancurkan keseluruhan konstruksi jembatan, aku akan berdiri dengan mantap menantang si penanya. Tapi kawan, jika aku ditanya bagaimana hati yang tak terlihat ini mampu menerima cobaan yang datang dengan tegar bak ombak menghempas karang, aku akan terdiam lantas beralih memintamu untuk menjawabnya.

Ini tahun kelima setelah perkenalan pertama kita. Genap dua tahun setelah akhir dari kebersamaan kecil kita di sekolah berasrama itu. Pelan-pelan kuraba hatiku, rasanya ada yang hilang kawan. Kau tau apa itu? Itu kau. Kau yang biasanya bangun terlebih dahulu lantas membangunkanku shalat subuh. Kau yang akan tetap berusaha berlari sekuat tenaga meski wajahmu sudah merah padam. Kau yang mencuci semua piring yang kami pakai untuk makan mie instant. Kau yang selalu pertama kali berlari menghampiri jika salah satu dari kami terbaring sakit. Kau juga yang akan menjadi orang paling sibuk ketika aku mempersiapkan diri pergi berlomba. Memastikan tak ada barang yang ketinggalan, meyakinkan bahwa aku akan menang.

Jangan-jangan kau sudah lupa dengan gadis tomat yang kuceritakan di atas? Aku, benar-benar merasa sudah kehilanganmu. Bukan karena jarak ratusan kilometer yang memisahkan kita ini. bukan. Kita sudah pernah berjanji bukan, bahwa jarak tak punya hubungan apa-apa dengan persahabatan kita.

Kemarin, saat kau ceritakan tentang luluhnya semangatmu, dalam hati aku menyusun pertanyaan untukmu. Impian itu, sudah hilangkah? Hancurkah? Lumat bersama kata-kata penolakan dari orang tuamu? Aku tau betapa kuat hasratmu mempelajari ilmu pertanian di kota hujan itu. Ah, tapi kau juga sempurna memahami, betapa restu orang tua ada di balik semua bahagia. Kalau tidak, kau tak mungkin bertahan di Bukittinggi sana. Menguliahi diri dengan ilmu-ilmu yang tak kau cintai. Aku mengerti benar jalan pikiranmu.

Ingat ayah-ayah heroik kita? Saat malam tengah menua, mereka masih terjaga. Melangkah pelan ke warung kopi sebelah. Sudah lama tak kesana, sudah saatnya bertemu kawan lama. Mereka duduk sebentar, menikmati alunan musik tua dari TV yang juga sama-sama tuanya.  Hingga seorang dari yang paling kaya berkata, “apa kabar anak gadismu yang kuliah di sana? Beruntung sekali kau punya anak sehebat dia.” Dia hanya tersenyum, melipat kembali ribuan yang awalnya ingin ia belikan secangkir kopi, pelepas penat hari ini. Ia ingat, nun jauh di sana ada yang menanti uang makan tiap bulan. Tak apa tak ada kopi, untuk anak sehebat dia. Ia beranjak pergi, pulang lebih awal dari rencana semula. Besok harus kerja keras lagi. Ah, tak ada kerja keras yang terlalu keras, untuk anak sehebat dia. Sebuah senyum penutup hari ini.

Ah,bicara soal cinta, semua hanya masalah waktu bukan? Kau juga akan mencintai perkuliahanmu nantinya. Semua kebaikan punya potensi untuk dicintai, jadi ikhlaskanlah hatimu untuk mengenalnya dengan baik. Tak ada kerja keras yang terlalu keras bukan? Untuk ayah-ayah sehebat mereka?

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi pada gadis tomat itu? Apa yang terjadi pada hati setahan karangmu? Kau bukan Ina yang kukenal. Ini dunia kita Na dan tak ada yang bisa mengambilnya. Jadi, saat kemarin kau meminta motivasi kepadaku, aku berpikir sehari semalam. Menanyai hati terdalamku, bagaimanalah caranya memperlihatkan kepadamu bahwa kaulah motivasi itu? Bagaimanalah menunjukkan bahwa harapan itu adalah dirimu? Aku sungguh angkuh saat mengatakan jarak tak memainkan peran apapun pada persahabatan kita. Nyatanya ia Na, telah memutuskan senyum yang biasa kita bagi untuk saling menguatkan. Tapi tak apalah, bukankah semakin kuat ujiannya maka semakin tinggi pula tingkatannya? Ini duniamu gadis tomat, jangan sampai kau layu sebelum berbuah. Jangan patah semangat dulu, dunia masih butuh buah tomat :P.  

1 komentar: