Andai Penulis Kehilangan Pena
Manusia selalu
ingin lebih, dan beralasan dengan kelebihannya itu ia bisa membuat banyak hal
dalam sejarah. Namun, pada kenyataannya ia hanya akan terlena pada materi yang
ia peroleh dan melupakan hal-hal hebat yang selalu ia koar-koarkan.
Aku
masih ingat ketika dulu nun jauh di depan danau maninjau, mimpi itu datang
untuk pertama kalinya berkenalan denganku. Aku ingin menjadi seorang penulis!
Bagiku, yang terukir di atas kertas adalah saksi sejarah yang tak terbantahkan.
Kartini menjadi pahlawan hebat di mata manusia bukan hanya karena ia memiliki
keinginan untuk berubah. Namun, karena ia menulis. Hal yang tak dilakukan oleh
Rohana Kudus dan Banyak pahlawan wanita lain.
Saat itu segalanya seperti tidak mungkin
dilakukan. Sangat banyak hambatan yang bisa kujadikan alasan untuk tidak
menggapai mimpi itu. Jadwal yang padat dari yayasan, pembinaan yang intensif, tugas
proyeksi yang selalu menghantui dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang
selalu melahap habis akhir pekanku. Namun pada saat itu, hambatan itu bukannya
melemahkan tekadku tetapi malah semakin memacuku untuk semakin gencar menggapai
mimpi tersebut. Aku tidak peduli pada kenyataan yayasan tidak memperbolehkanku
membawa laptop ke asrama. Aku juga tidak terganggu pada keterbatasanku
menggunakan komputer laboratorium. Sejauh yang aku tahu, aku masih punya kertas
dan pensil untuk mencapai mimpi itu. Dan akhirnya, begitu banyak ide-ide yang
aku coretkan dalam berlembar-lembar ketas HVS. Menjadi investasiku di masa depan. Saat-saat liburan sekolah adalah saat-saat
yang kutunggu. Saat dimana aku bia bebas dari rutinitas militer yang harus
jalani. Saat dimana aku bisa ke warnet untuk mengetik cerpen-cerpen yang telah
berdebu dalam lembaran-lembaran HVS murahan. Pada awalnya, aku merasa sangat
dekat dengan mimpiku ketika menekan tuts-tuts keyboard warnet yang sudah lapuk
dimakan usia. Namun, ketika aku lelah mengetik hayalan-hayalan itu ke komputer
aku mulai bermimpi memiliki laptop pribadi. Dan dalam mimpi itu, aku melihat
diriku menghasilkan banyak kisah-kisah kehidupan.
Minggu
kedua bulan Juli 2010, mimpi itu mendatangiku dalam kehidupan nyata. Aku telah
mempunyai laptop pribadi! Laptop milikku sendiri. Seharusnya saat itu aku mulai
mengarang lagi. Entah tentang kebobrokan zaman ataupun tentang negeri utopia
yang aku inginkan. Namun, saat aku melihat ke dalamnya, aku mulai bermimpi
lagi. Andai laptop ini mampu mendekatkan aku pada hal-hal yang selama ini jauh,
tentu tulisanku akan lebih berwarna. Andai aku bisa mengakses berita dari
belahan dunia sana dengan cepat bukankah
aku juga akan mendapatkan inspirasi tulisan yang lebih banyak? Andaikan aku
dengan mudahnya mencari informasi lomba menulis bukankah peluang itu semakin
besar? Dan andai-andai yang lain. Simpelnya, aku menginginkan koneksi internet
agar aku terhubung pada dunia yang nun jauh di sana.
Tak lama, impian
itu terwujud. Siang malam aku mengakses internet dari balik jendala kamarku.
Mudah, tinggal kunyalakan laptopku dan wusss berita-berita terkini mengalir ke
laptopku. Namun teman, sekarang aku terpaku
menatap folder karya di laptopku. Aku malu untuk mengakui bahwa mimpi
itu semakin menjauh. Karyaku kering, yang ada di sini hanyalah paper, artikel
dan essay tugas kuliah. Dan taukah dirimu kawan? Sekarang aku bermimpi untuk
punya waktu lebih. Sayangnya, aku sadar bahwa waktu tak bisa kubeli dengan
uang. Dan bukankah kau bisa lihat dengan jelas bahwa sekarang mimpi itu makin
hari makin menjauh? Namun, di bagian akhir dari perjuangan semu ini aku ingin
sekali kau mengiyakan permintaanku. Cukup kata ’ya’ untuk membuatku bahagia. Agar
pertanyaan kehidupan mampu kujawab. Bolehkah aku memimpikannya lagi?
Andai seorang
penulis kehilangan pena
Dunia
terhenti dalam tanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar